Jumat, 18 Maret 2011

pengantar ilmu hukum>>>> KAIDAH KAIDAH YANG BERLAKU DI MASYARAKAT

Manusia hidup dalam masyarakat, manusia adalah mahluk sosial. Masyarakat pada dasarnya terdiri dari 3 golongan besar:
1. Golongan berdasarkan hubungan kekeluargaan: Perkumpulan keluarga.
2. Golongan berdasarkan kepentingan/ pekerjaan: perkumpulan ekonomi, koperasi, serikan sekerja, perkumpulan social.
3. golongan berdasarkan tujuan/ ideologi: partai politik, perkumpulan keagamaan.

Manusia yang hidup dalam masyarakat tersebut mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda. Pertentangan antar kepentingan dapat menimbulkan kekacauan, oleh karena itu diperlukan petunjuk hidup/ kaidah, namun hidup bermasyarakat penting, karena diantara mereka dapat kerjasama yang positif untuk mencapai kehidupan yang layak.

Norma merupakan peraturan tata tertib yang mencakup:
1. Norma agama: berpangkal pada kepercayaan adanya yang maha kuasa, menganggap norma agama ditentukan oleh Tuhan.
2. Norma kesusilaan: norma yang paling tua, yang bersumber pada moral.
3. Norma kesopanan: norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat sendiri untuk mengatur pergaulan hidup, sehingga masing-masing saling menghormati.
4. Norma hukum: bersifat memaksa, untuk melindungi kepentingan manusia dalam pergaulan hidupnya.

Sifat norma hukum:
a. Adanya paksaan dari luar
b. Sifat umum (berlaku untuk siapa saja)

Realitas norma-norma tersebut satu sama lain memperkokoh kekuatan pengaruhnya dalam masyarakat. Perbedaan norma-norma tersebut karena legitimasinya/ legitimasi sanksinya. Norma hukum paling kuat kedudukannya dalam masyarakat, karena norma hukum mempunyai alat penegak hukum. Hukum akan bertindak jika terjadi pelanggaran (Utrecht, Kansil, Soeroyo)

Norma/ kaedahsosial dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tata kaedah dengan kehidupan pribadi yang dibagi lebih lanjut menjadi:
a. Kaedah kepercayaan atau keagamaan.
b. Kaedah kesusilaan.
2. Tata kaedah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi dalam:
a. Kaedah sopan santun atau adat.
b. Kaedah hukum.

Pelanggaran norma keagamaan, kesusilaan dan kaedah sopan santun akan terkena sanksi. Sanksi merupakan reaksi, akibat atau konsekwensi pelanggaran kaedah sosial.

Sanksi dalam arti luas:
a. Bersifat positif/ menyenangkan: penghargaan, rasa hormat, simpati, pemberian penghargaan misalnya: satya lencana, bintang jasa, dll.
b. Bersifat negatif/ tidak menyenangkan: hukuman, sikap antipati, celaan.

Pada umumnya sanksi bersifat negatif.
 Tujuan sanksi: memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah teganggu oleh pelanggaran kaedah dalam keadaan semula.
 Sebagai perlindungan kepentingan manusia, kaedah keagamaan. Kesusilaan, sopan santun dirasakan belum cukup memuaskan karena:
1. Masih banyak kepentingan manusia lainnya yang memerlukan perlindungan, tetapi belum diatur oleh ketiga kaedah.
2. Kepentingan yang sudah diatur, sanksinya belum cukup memuaskan.’
3. Kaedah sosial tersebut sanksinya tidak dirasakan secara langsung, kepoentingan manusia dalam masyarakat belum cukup terlindungi.
 Kaedah hukum melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapatkan perlindungan dari ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi.

Kaedah hukum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit, yang nyata-nyata berbuat, untuk ketertiban masyarakat agar jangan jatuh korban kejahatan/ agar tidak terjadi kejahatan.

Isi kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir Manusia. Kaedah hukum berasal dari luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Pengadilan sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dalam menjatuhkan hukman.

Kaedah Kepercayaan Kaedah Kesusilaan Kaedah Sopan Santun Kaedah Hukum
Tujuan Umat manusia. Penyempurnaan manusia jangan sampai manusia jahat. Perbuatannya yang konkrit. Ketertiban masyarakat jangan sampai ada korban.
Isi Ditujukan kepada sikap batin. Ditujukan kepada sikap lahir.
Asal Usul Dari Tuhan Dari diri sendiri Kekuasaan luar yang memaksa
Sanksi Dari Tuhan Dari diri sendiri Dari masyarakat secara tidak resmi Dari masyarakat secara resmi.
Daya Kerja Membebani kewajiban Membebani kewajiban Membebani kewajiban Membebani kewajiban danmemberi hak.
(Prof.Dr. Sudikno Mertokusumo, 1999, 4-131)

Hukum tidak terbatas, terdapat dimana-mana.

Hukum positif atau Ius Constitutum mencakup:
 Hukum Tertulis: seluruh peraturan perundang-undangan.
 Hukum tidak tertulis: hukum adat sebagian tertulis dan bagian besar tidak tertulis, serta hukum kebiasaan yang berasal dari barat/ Belanda yang di Receptie/ diterima dalam hukum Indonesia karena asas konkordasi, yaitu asas dimana hukum yang berlaku di negara penjajah diperlakukan di negara jajahannya.

Hukum dibentuk karena:
a. Gejala Sosial: Dalam masyarakat telah berlaku nilai atau kondisi yang tidak telepas dari masyarakat. Hukum dibentuk untuk memberikan landasan yuridis terhadap kenyataan tersebut. Sehingga hukum tidak terlepas dari masyarakat hukum tidak statis tetapi bersifat dinamis, karena selalu mengikuti perkembangan masyarakat.
b. Hukum sebagai rekayasa sosial: hukum dimaksudkan untuk merubah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang dapat mengganggu perkembangan masyarakat dimasa mendatang. Perubahan nilai yang di legalisir ini dapat menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat. Karenanya diperlukan penyuluhan hukum secara meluas dalam masyarakat.

Norma hukum termasuk norma yang lahir dari kehendak manusia, yang dilandasi oleh nilai-nilai ideal dan kenyataan pada tatanan kebiasaan.









Menurut Radbruch, nilai-nilai dasar hukum yaitu keadilan, kegunaan dan kepastian hukum, terdapat ketegangan satu sama lainnya, kerena ketiganya berisi tuntutan yang berlain-lainan satu sama lain. Misalnya kepastian hukum akan menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Bagi kepastian hukum yang utama adalah adanya peraturan-peraturan, adil dan kegunaan bagi masyarakat diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adaya nilai-nilai yang berbeda tersebut maka penilaiantentang keabsahan hukum dapat bermacam-macam.

Nilai-nilai Dasar Kesahan Berlaku
Keadilan
Filsafati
Kegunaan Hukum Sosiologis
Kepastian hukum Yuridis
(Satjipto Rahardjo, 14-23)

beberapa definisi hukum:
Utrecht: himpunan peraturan-peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat.

JCT Simorangkir: Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkunan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana berakibat dimabil tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.

MH Tirta Amidjaja: Huukum adalah smua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaan, didenda, dsb.

Definisi-definisi tersebut tampaknya menggambarkan pengertian hukum memaksa/ hukum publik, yang harus dipatuhi oleh semua orang, dimana terdapat unsur-unsur persamaannya:
 Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergalan masyarakat.
 Peraturan diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
 Peraturan bersifat memaksa.
 Sanksi yang tegas terhadap pelanggar.

Ciri-ciri hukum:
 Adanya perintah/ larangan.
 Perintah/ larangan harus ditaati.

Pelanggaran terhadap kaedah sosial yang merupakan kaedah hukum, penegakkannya biasanya melalui alat penegak hukum, bertindak terhadap pelanggar hukum yang dapat memaksa pelanggar berkelakuan menurut kaedah-kaedah tata tertib dlaam masyarakat.

Pelanggaran terhadap hukum dapat dikenakan sanksi yang berupa hukuman dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
a. Pidana pokok, terdiri dari:
 Pidana mati
 Pidana penjara: Seumur hidup
Sementara, setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun, atau pidana penjara untuk waktu tertentu.
 Pidana kurungan: sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya 1 tahun.
 Pidanan denda.
b. Pidana tambahan:
 Pencabutan hak-hak tertentu.
 Perampasan/ penyitaan barang-barang tertentu
 Pengumuman keputusan hakim.

Diluar KUHP terdapat pidana tutupan, namun tidak berlaku efektif lagi.

Tujuan hukum:
 Mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
 Menjamin kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya.
 Menjaga kepentingan agar tidak diganggu.
 Di Indonesia ditambah: pengayoman.

Mengapa orang taat kepada hukum:
 Peraturan benar-benar dirasakan sebagai hukum.
 Peraturan harus diterima agar ada ketentraman.
 Peraturan dikehendaki.
 Adanya sanksi sosial.

Kategori hukum:
a. Atas dasar sumber:
 Undang-undang
 Kebiasaan/ adat
 Traktat
 Yurisprudensi
 Hukum ilmu/ doktrin
b. Atas dasar wilayah berlakunya:
 Hukum nasional.
 Hukum internasional.
c. Atas dasar sanksinya:
 Hukum memaksa
 Hukum mengatur
d. Atas dasar isinya:
 Hukum publik
 Hukum privat
e. Atas dasar fungsinya
 Hukum materiil
 Hukum formil

Ilmu Hukum tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, misalnya lmu politik, ilmu ekonomi, ilmu administrasi, ilmu pendidikan, sejarah, sosiologi, antropologi, dsb. Karena masyarakat sifatnyakompleks, majemuk, pluralistik, diperlukan pendekatan yang multidisipliner.

Selain itu dalam masyarakat berlaku peraturan hukum tertulis yang bukan hukum pemerintah atau bukan hukum yang disahkan oleh pemerintah:
 Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh organisasi sosial, organisasi masa, organisasi sosial masyarakat..

SUMBER HUKUM ISLAM

A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupannya, seseorang manusia pasti berhubungan dengan manusia lain. Hubungan tersebut memerlukan suatu sisitem yang mampu menjaga kelangsungan hubungan tersebut dengan baik. System yang dibutuhkan itu dinamakan system hokum. Agama islam juga memilki suatu isitem hokum. Sistem hokum ini akan membawa kebahagiaan hidup bagi yang mampu menjalankannya. Kebahagiaan itu bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.
Hukum islam merupakan sekumpulan peraturan Allah swt.untuk dikerjakan umat islam. Peraturan –peraturan itu terdiri dari perin tah-perintah serta larangan yang tertulis dalam Al-quran. Hokum islam memiliki tiga dasar yang tidak berubah-ubah. Sifat dasar itu adalah sebagai berikut :
a. Takamul yaitu mampu melayani semua golongan,baik yang menolak maupun yang menginginkan pembaruan
b. Wasatiyyah yaitu keseimbangan dari kebendaan dan kejiwaan
c. Harakah atau dinamis yaitu memilki ;daya hidup dan berkembang sesuai tuntutan zaman.
Dan menurut kesepakatan ulama sumber hokum islam adalah Al-quran ,hadis dan ijtihad. Yang akan dibahas di subab ini.

B. PEMBAHASAN
1. AL-QUR’AN
Alquran adalah kitab suci agama islam. Umat islam percaya bahwa alquran merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi,manusia dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.melalui perantara malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang di terima oleh Rasulullah saw.adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-alaq ayat 1-5 :

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (96:1) خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (96:2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (96:3)

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (96:4) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (96:5)


Menurut Dr. Subhi Al Salih, “Al-quran adalah Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepad anabi Muhammad saw. dan ditulis dimushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir ,membacanya termasuk ibadah”
Menurut Ali Ash-Shabunni , “Al-quran adalah firman Allah yang tiada tandingannya,diturunkan kepada Nabi Muhammad sawpenutup para nabi dan rasul dengan perantaraan malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawir,serta membaca dan mempelajarinya merupakn ibadah yang dimulai dengan surah Al-fatihah dan ditutup dengan An-nas.”
Dengan demikian ,;firman Allah yang diturunkan kepada nabi selain nabi Muhammad tidak dinamakan Al-quran,seperti kitab taurat yang diturunkan kepada umat nabi Musa as, atau kitab Injil yang diturunkan kepada nabi Isa.as.

Fungsi dan peranan Al-quran
1. Sebagai mukjizat nabi Muhammad saw
Al-quran inilah sebagai bukti kenabian dan kerasulan nabi Muhammad saw,sekaligus menjadi bukti bahwa Al-quran adalh firman Allah swt ,dan bukan ucapan atau ciptaan Rasul. Beliau menjadikan al-quran sebagai senjata untuk menentang orang-orang kafir Quraisy.
2. Sumber utama dan paling utama dalam ajaran islam
Al-quran juga berfungsi sebagi pedoman hidup bagi umatmanusia dalam mencapai kebahagiaan hidup dunia akhirat,
3. Sebagai penyempurna dan pembeda terhadap kitab-kitab Allah sebelum nya dan bernilai abadi karena persoalan-persoalan yang dibahas oleh kitab Taurat,Injil dan zabur dinili Al-quran tidak sesuai dengan ajaran Allah SWT yang sebenarnya. Contohnya tentang Isa ataupun Luth.
Kandungan Al-qur’an
Secara garis besar kandungan Al-quran dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu :
1 Pembahasan mengenai prinsip-prinsip akidah (keimanan)
Prinsip-prinsip akidah itu meliputi iman kepada Allah SWT(Al-baqarah/2; 116), iman kepada malaikat-malaikatnya,(Ali imran/3:80),iman kepada kitab-kitabnya(Ar-rad/13:38),iman kepada rasul-rasulnya(Al-a’raf / 7: 35),dan iman pada hari akhir (hud/11:123) serta Qada dan Qadar (An-nahl/16:36)
1 Pembahasan mengenai prinsip-prinsip ibadah
Prinsip-prinsip ibadah itu meliputi sholat (Al-baqarah/2:45), zakat (At-Taubah/9:60), puasa ramadhan (Al-baqarah/2:183) dan haji (Al-hajj/22:27).
1 Pembahasan mengenai prinsip-prinsip syariat
Pembahasan mengenai prinsip-prinsip syariat itu meliputi pembahasan tentang manusia,masyarakat,masalah social,masalah ekonomi,musyawarah,sejarah,hokum perkawinan,hokum waris,hokum perjanjian,hokum pidana,hokum perang dan hokum antar bangsa. Dan ada pula kandungan A;l-quran yang mengandung prinsip-prinsip muamalah serta kisah-kisah nabi dan orang terdahulu.

Al-qur’an sebagai kalammullah ( kitab Ilahi)
Al-quran adalah kitab Allah SWT yang mengandung firman-firmannya, yang diberikan kepada penutup para rasul dan nabi-Nya. Al-quran seratus persen berasal dari Allah SWT,baik secara lafal maupun makna. Diwahyukan oleh Allah SWT kepada rasul dan nabi-Nya. Seperti firman nya:
الكتاب لا يوجد شك في ذلك : دليل لأولئك الذين يخش
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,” (QS. Al Baqarah : 2)
Al-quran sendiri telah menegaskan bahwa Allah SWT telah menurunkannya dengan bahasa arab, seperti dijelaskan dalam firmannya :
حقا ، لقد كان على النحو قرآنا عربيا لعلكم فهم
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)
القرأن ليس من الممكن بغير الله ، ولكن (سورة القرآن) مصدقا لما وشرح قوانين التشريع ، وليس هناك شك في ذلك ، (لأسفل) من رب الجنو
“Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (QS. Yunus : 37)
وقد أرسلنا هذا القرآن هو قراءة في لغة أخرى غير العربية ، وكانوا يقولون : "لماذا لا آياته وأوضح؟" ما هو في اللغة الأجنبية هي اللغة العربية؟ يقول : "القرآن هدى وشفاء للمؤمنين. وأولئك الذين لا نعتقد أن هناك الصمم في آذانهم ، والقاعدة والقرآن ومن العمى بالنسبة لهم. ودعوا من بعيد
“Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (QS. Fushshilat : 44)

Rasulullah Saw.telah menyampaikan seluruh apa yang diturunkan kepada beliau dari Rabb-nya kepada manusia seluruhnya,terutama kepadfa sahabat-sahabat beliau. Kemudian para sahabat menyimpannya dalam dada mereka,membacanya dengan lidah mereka, dan ditulis oleh mereka yang bertugas sebagai pencatat wahyu dengan tangan-tangan mereka.
Kemudian beliau menjelaskan kandungan Al-quran ,sesuai dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman :
وأنزلنا إليك القرآن بحيث قد تبين للناس ما أنزل إليهم وهكذا يفكرون
“… Dan kami turunkan kepadamu Al-quran agar kamu menerangkan kepada um at manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan…..” (An-nahl:44)
Siapa yang ingin memahami Al-quran atau menafsirkannya,hendaknya mempersiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk keperluan itu. Ia harus mempersiapkan kemampuan akalnya,ilmunya dan jiwanya. Karena,dia hanyalah seorang makhluk yang berusaha menafsirkan firman-firman Sang pencipta. Ia hanyalah makhluk-makhluk lainnyayang mempunyai kekurangan dan kelemahan serta keterbatasan dengan batas-batas zaman,tempat dan kemampuan,di hadapan Allah SWT yang esa dan maha kuasa,yang ilmu serta kehendak-Nya tidak diukur oleh sesuatu apa pun.
Sedangkan,memandang dan menilai Al-quran hanya sebagai “karya sastra” atau hasil dari pengaruh peradaban arab yang berkembang dalam masyarakat Hijaz pada saat diturunkan,atau pada waktu turunnya kerena mereka tidak melihatnya sebagai suatu kitab yang diturunkan seperti yang dikatakan oleh sebagian penulis adalah pangkal dari kerancuan dan kesalahan bersikap. Karena, ia menyalahi hakikat yang serta bertentangan dengan akidah.
Diturunkannya Al-quran d4engan bahasa yang dipergunakan manusia ,tidak membuat Al-quran secara otomatis bukan kalam Allah SWT, dan tidak pula mencabut sifat Ilahiah dan kesucian Al-quran . Karena jika demikian niscaya tidak ada perbedaan antara wahyu illahi dan pemikiran manusia.

Metode atau cara memahami Al-qur’an
Memahami al-quran hukumnya adalah wajib. Ada beberapa tahapan agar kita mampu untuk memahami dan mampu berinteraksi dengan Al-quran. Yaitu :
1 Memperhatiakn adab tilawah
2 Membaca dengan khusyu’,tadabur dan pelan-pelan jangan tergesa-gesa.
3 Memperhatikan dan merenungi arti tiap ayat yang kit abaca
4 Mempelajari secara rinci,susunan kata,kon teks kalimat,arti yang terkandung ,asbab an-nuzul dan berbagai sudut pandang
5 Memahami korelasi ayat dengan kondisi sekarang
6 Merujuk kepada yang dipahami oleh para salafus shahih terutamapemahaman para sahabat.
7 Mempelajari pandapat para ahli tafsir yang memiliki bobot ilmiah

Pemahaman Al-qur’an dengan kitab suci lainnya
Beriman kepada Allah SWT adalah percaya dengan sepenuh hati bahwa kitab-kitab itu adalah firman Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya dan meyakini bahwa segala isinya benar.
Menurut pendapat yang masyhur, jumlah kitab Allah sebanyak 104 kitab. Ada juga yang berpendapat bahwa kitab Allah SWT. berjumlah 114. menurut Syekh Suhaimi,banyaknya kitab itu tidak dapat dihitung sehingga kita hanya diwajibkan beriman kepada empat kitab. Dalam konteks beriman kepada kitab yang lain adalah mempercayai adanya kitab tersebut dan percaya itu juga merupakan wahyu Allah SWT,tetapi tidak mengamalkan isinya karena masa berlaku kitab tersebut telah habis. Ketiga kitab yang yang lian adalah :
1. Taurat
Taurat yang dalam bahasa ibrani disebut Thora adalah kitab suci yang diturunkankan Allah SWT. pada ayat berikut ini.
ولقد آتينا موسى وجعلنا دينا توجيهات من أجل أطفال اسرائيل مما كنت لا تأخ
Artinya :
Dan kami berikan kepada Musa,kita (Taurat) dan kami menjadikannya petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “ Janganlah kamu mngambil (pelindung) selain Aku.”
Taurat merupakan salah satu dari tiga komponen,yaitu thora,nnabiin dan khetubiin. Tiga komponen itu terdapat dalam kitab suci agama yahudi yang disebut Biblia (Al-kitab). Orang-orang Kristen menyebutnya Old Testament (perjanjian Lama). Taurat yang terdapat dalam perjanjian lama ini tertdiri dari lima kitab yang berasal dari Nabi Musa a.s.
2. Zabur
Zabur adalah nama kitab suci yang diberikan kepada Nabi Daud a.s. zabur berasal dari kata zabara-yazburu-zabran,yang berarti menulis.
Zabur disebut juga dalam bahasa arab dengan Mazmur dan jamaknya mazamur . zabur berisi 150 nyanyian yang disenandugkan Nabi Daud a.s.dengan mengungkapkan semua pengalaman yang dialami pada masa hidupnya,seperti dosa, kejatuhan,pengampunan dosa,suka cita tentang kemenangannya atas musuh Allah SWT dan kemuliaan Allah SWT.
Kitab Zabur merupakan aajaran yang berisi lima jenis nyanyian,yaitu :
1 Nyanyian kebaktian untuk memuji tuhan
2 Nyanyian perorangan sebagai ucapan syukur terhadap tuhan
3 Ratapan-ratapan jamaah
4 Ratapan dan doa individu
5 Nyanyian untuk raja
Nabi Daud a.s.,menyatakan bahwa inti sari Kitab taurat yang berupa sepuluh tetap menjadi pedoman hidupnya meskipun Allah menurunkan kitab zabur kepadanya pada saati itu.
3. Injil
Injil adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Isa a.s,bin Maryam. Kitab ini intinya berisi ajakan kepada umat Nabi Isa a.s,untuk hidup dengan zuhud yaitu menjauhi kerakusan dan ketamakan duniawi. Hal itu dinaksudkan untuk meluruskan pandangan orang-orang Yahudi yang bersifat matrealistis.
Kitab injil yang ada sekarang berbeda dengan Injil asli yang diturunkan Allah SWT. kepada nabi Isa a.s. Dalam bentuknya yang sekarang,ada sejumlah pengikut Nabi Isa a.as,yang memasukkan karangannya ke dalam kitab Injil. Mereka adalah Matious,Markus,Lukas dan Yahya. Oleh karena itu injil tersebut diberi nama menurut pengarangnya,yaitu Injil Matius,Injil Markus,Injil Lukas dan Injil Yahya.
Pada mulanya terdapat kuarang lebih 70 buah kitab injil. Kitab injil itu pada umumnya membawakan isi yang simpang siur satu sama lian. Ketika ada sinode (muktamar gereja-gereja) di Nicea pada tahun 325 M,umat nasrani memutuskan bahwa hanya empat injil diatas yang di akui gerja. Injil yang tidak diakui gereja disebut Apochrypha at au injil-injil yang tertolak.

Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu.

Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya.

Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.

Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :

* Assuyuthi ra. dalam kitab Itmamu al-Dirayah mengatakan :
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
* Al-Zarqany ra. memberikan definisi sebagai berikut:
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.

Pengertian Tafsir
Makna tafsir dari segi bahasa menjelaskan dan menerangkan. Pengertian seperti itu dapat dilihat pemakaiannya dalam QS. al-Furqan (25) : 33 sebagai berikut:

ولا يأتونك بمثل الا جئنك بالحق وأحسن تفسيرا

Terjemahnya:

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.

Tafsir berasal dari akar kata al-fasr (ف- س- ر) yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam lis±n al-’Arab dinyatakan al-fasr ( الفسر ( secara leksikal berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsir ( التفسير ) berarti menyingkap maksud suatu lafaz yang musykil atau pelik.Di antara kedua bentuk itu, al-fasr dan al-tafsir, kata al-tafsir (tafsir)lah yang paling banyak dipergunakan.

Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa para ulama berbeda-beda secara redaksional dalam mengemukakan definisinya meskipun esensinya sama. Al-Jurjani misalnya mengetengahkan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai segi, baik konteks historisnya maupun sebab turunnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Kemudian Imam al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an dari segi pemahaman makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar kemampuan manusia. Selanjutnya, al-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa tafsir adalah upaya mengungkapkan dan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an sesuai kadar kemampuan masing-masing yang sifatnya terbatas, sehingga dapat dijumpai pelajaran, hukum, dan hikmah yang terkandung di dalam kitab suci tersebut.

2. HADIST ( SUNNAH)
Rasulullah SAW sebagai sumber sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Assunnah menurut para Fuqaha’ adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi SAW namun tidak bersifat wajib dia adalah salah satu dari hukum talkifi yang lima, wajib, sunnah, haram, makruh,d an mubah.
Asunnah menurut ulama ushul fiqih adalah apa yang bersumber dari nabi SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.Sedangkan pengertian assunnah menurut ulama hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, atau sirah beliau.
Pendapat lain dari para ahli ushul mengatakan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia
Berdasarkan definisi tentang assunah yang telah disajikan, para ahli hadits menyamakan antara sunnah dengan hadits. Para ahli hadits mebawa makna sunnah ini kepada seluruh kebiasaan nabi SAW baik yang melahirkan hukum syara’ ataupun tidak.
Para ulama Ushuliyyin jika antara sunnah dan hadits dibedakan, maka bagi mereka hadits adalaha sebatas sunnah qouliyyah-nya nabi saja. Ini berarti sunnah cakupannya lebih luas dari hadits sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqrir) rasul yang bisa dijadikan dalil hukum syar’i.
Para ahli Ushuliyyin mendefinisikan hadits seperti yang telah disajikan oleh para ahli hadits, yaitu mereka memandang Rasulullah sebagai uswatun hasannah (contoh atau teladan yang baik). Oleh karenanya, mereka menerima secara utuh segala yang dibeikan tentang diri Rasulullah SAW apakah yang diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ atau tidak.
Berbeda dengan ahli hadits, ahli ushul mengatakan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Berdasarkan pemahaman ini mereka mendifinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas dijadikan dalil untuk hukum syara’.
Berdasarkan pengertian tersebut para ahli ushul hanya memberikan bahwasannya sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang berkaitan dengan hukum syara’. Namun hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebelum kenabian tidaklah dianggap sebagai sunnah.
Berdasarkan pengertian dan pendapat di atas jelaslah bahwa sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari rasulullah, baik itu perkataannya, pebuatannya, ataupun pengakuannya termasuk semua kebiasaan nabi yang menghasilkan hukum syara’ ataupun tidak. Dari ketiga definisi di atas kita dapat menjawab bahwa benar apabila rasulullah adalah sebagai sumber sunnah. Dengan kata lain ini dikarenakan sunnah adalah apa-apa yang dikatakan rasul, diperbuat rasul dan disepakati atau diakui rasul. Sehingga benar jika rasul adalah sebagai sumber sunnah.
Kedudukan Hadist ( sunnah )
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa sunnah/ hadits adalah merupakan salah satu sumber ajaran islam. Ia menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti sunnah atau hadits bagi umat islam baik yang berupa perintah atau larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan sunnah/ hadits adalah Mubayyin terhadap Al-Qur’an, oleh karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits/ sunnah. Begitu pula dalam memahami atau menggunakan hadits tanpa Al-Qur’an.
Karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian antara Al-Qur’an dan Hadits memiliki kaitan yang sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وتلك العمري المكلف لك. ثم إذا كنت آراء مختلفة حول شيء ما ، ثم فردوه إلى الله ورسوله وإذا كنت تعتقد حقا بالله واليوم الآخر. هذا هو أكثر أهمية (لكم) ، وبالتالي أفضل
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa : 59).
Dalam surat Al-Hasyr ayat 7 Allah juga berfirman :
ما يمنحك رسول ، ثم يأخذون عليه. وأيا كان لا ينهاكم الله ، الامتناع عن التصويت واتقوا الله ، إن الله هو عقاب الثا
“..Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” (QS. Al-Hasyr : 7).
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan dan ditarik suatu pemahaman bahwa ketaatan kepada Rasulullah adalah mutlak sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT. Begitupula dengan ancaman dan peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhakan kepada Rasul-Nya.
Fungsi Hadist (sunnah ) terhadap al-qur’an
Berdasarkan kedudukannya, Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah Hadits menempati kedudukan dan fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Al-Hadits/ Sunnah menjadi penjelas (Mubayyin) is kandungan Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 44, yang berbunyi :
وأنزلنا إليك القرآن بالنسبة لك لتبين للناس
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia”. (QS. An-Nahal : 44).
Ada bermacam-macam fungsi Hadits/ sunnah terhadap Al-Qur’an. Malik bin Anas menyebutkan bahwa fungsinya ada lima yaitu, bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri. Kemudian Imam Syafi’i menyebutkan bahwa fungsi Hadits/ Sunnah terhadap Al-Qur’an ada lima macam pula, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’, dan bayan an-nasakh. Sementara Imam Al-Hambal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan at-ta’kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyri’, dan bayan at-takhshish.
a. Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir disebut juga bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an. Contoh dari fungsi hadits ini dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu :
يا أيها الذين آمنوا عندما تصلون ثم يغسل جوهكم وأيديكم إلى الكوع وفرك رؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,..”. (QS. Al-Maidah : 6).
Ayat di atas ditaqrir oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Abu Huarairah, yang berbunyi (yang artinya) :
أي شخص الذي تلقى الصلاة قبل ان طقوس الاغتسال النجا
“Rasul SAW bersabda : Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”.
Menurut sebagian ulama, bahwa bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga bayan al-muwafiq li naskh al-kitab al-karim. Hal ini karena munculnya hadits-hadits itu sesuai dengan untuk memperkokoh nash Al-Qur’an.
b. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan. Lebih lanjut adalah pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan ‘am. Maka fungsi hadits pada hal ini adalah untuk memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhshihs ayat-ayat yang masih umum.
1. Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Ini dikarenakan bahwa dalam ungkapan yang ringkas ini masih belum jelas makna yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau rincian. Dengan kata lain ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang masih bersifat mujmal, antara lain adalah ayat-ayat yang menjelaskan firman Allah SWT untuk menjalankan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qishas, dan lain-lain.
Ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut umumnya masih bersifat global atau dijelaskan hanya secara garis besarnya saja. Atau walaupun diantaranya sudah ada perincian namun masih memerlukan perincian lanjut yang lebih pasti. Hal ini disebabkan karena dalam masalah-masalah tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya, atau apa halangan-halangannya dan sebagainya. Maka Rasulullah SAW dalam hal ini menafsirkan dan menjelaskannya secara terperinci. Misal nya dalam hal sholat Rasul memberikan penjelasan dalam hadits-nya,
“sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat”
Dari perintah mengikuti shalatnya dari hadits tersebut, Rasulullah kemudian memberinya contoh shalat yang dimaksud secara sempurna. Bahkan bukan hanya itu beliau juga melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang dilakukan sejak sebelum shalat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian, maka hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagai perincian dari perintah Allah SWT dalam surat Al – baqoroh ayat 43 yang berbunyi :
وأقيموا الصلاة وإيتاء الزكاة واركعوا مع الذين يتم الركو
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (QS. Al-Baqarah : 43).
Masih berkaitan dengan ayat tersebut, Rasul juga memberikan penjelasan tentang zakat secara lengkap, baik yang berkaitan dengan jenis dan ukurannya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki kajian yang cukup luan.
1. Men-Taqyid Ayat-ayat yang Muthlaq
Kata muthlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Ini dapat dilihat pada surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :
الرجال والنساء الذين سرقوا سرقة ، وقطع يد كل من مكافأة ما يفعلونه ، وعقابا من الله
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah..” (QS. Al-Maidah : 38).
Ayat tersebut di-taqyid¬-kan dengan sabda Rasulullah (yang artinya) :
يجب أن لا يد السارق أن تقطع ولكن على ربع دينار أو أكث
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong melainkan pada (pencurian) seperempat dinar atau lebih”. (H.R. Mutafaq ‘alaih, hadits ini menurut lafazh muslim).
1. Men-Takhshish Ayat yang ‘Am
Kata ‘am, ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedangkan kata takhshish atau khash ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu tau tunggal. Yang dimaksud dengan men-takhshish yang ‘am adalah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Contoh pada hal ini terdapat dalam suran An-Nisa ayat 11 yang berbunyi :
رسامة الله لك عن أطفالك ، وهو نجل وهذا هو الشيء نفسه مع اثنين من الإنا
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa : 11).
Ayat ini di-takhshish-kan oleh sabda Rasulullah SAW (yang artinya) :
ولا يحق للقاتل في الحصول على الميرا
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”. (H.R. Ahmad).
c. Bayan At-Tasyri
At-tasyri artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan atauran atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri adalah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an..Rasul SAW dalam hal ini berusaha mewujudkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Contoh dari hadits/ sunnah Rasul yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya adalah hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum merajam pezina yang masih perawan, hukum membasuh atas sepatu di saat berwudhu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.
Bayan ini oleh sebagian para ulama juga disebut dengan bayan za’id ‘ala al-kitab al-karim (tambahan-tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Dsebut sebagai tambahan karena sebenarnya di dalam Al-Qur’an ketentuan-ketuan pokok akan suatu hukum sebenarnya sudah ada, sehingga datangnya hadits tersebut hanyalah berupa tambahan terhadap pokok-pokok tersebut.
d. Bayan Nasakh
An-nasakh secara bahasa memiliki beberapa arti, yakni dapat berarti sebagai al-ibthal (membatalkan), al-Ifalah (menghilangkan), ¬at-tahwil (memindahkan), atau ai-tagyir (mengubah).
Diantara para ulama terjadi perbedaan dalam mendifinisikan bayan an-nasakh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama muttaqoddimin bahwa yang dimaksud dengan ¬bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datangnya hukum.
Dari perngertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian dari pada Al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan Al-Qur’an.
Diantara para ulama ada yang membolehkan adanya nasakh Hadits terhadap Al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam jenis hadits yang digunakan untuk men-nasakh-nya. Dalam perbedaan ini, mereka terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. membolehkan men-nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan oleh para ulama muttaqadimin dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut Zhahiriyah;
2. membolehkan men-nasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut adalah hadits muttawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazailah;
3. ulama membolehkan men-¬nasakh dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan hadits muttawatir. Pendapat ini dipegang oleh ulama hanafiah.

Contoh hadits ini adalah hadits Rasulullah SAW dari Abu Ummamah al bahili, yang artinya :
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لورث
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (H.R. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa’i. Hadits ini dinilai hasan oleh Ahmad dan At-Turmudzi).
Hadits ini menurut mereka men-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180 tentang wasiat, yang berbunyi :
المنصوص عليها بالنسبة لك إذا واحد منكم القادمة من الموت إذا كان يترك ثروة إرادة الأهل والأقارب في القريب لطف
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf[..” (QS. Al-Baqarah : 180)
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan, bahwa ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
Kodifikasi penndekatan memahami Hadist ( sunnah )
Kodifikasi atau tadwin artinya ialah pencatatan, penulisan atau pembukuan hadits. Secara individual perncatatan hadits telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW. Namum dalam pembahasan kali ini, yang dimaksud dengan kodifikasi adalah penulisan secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa anggota yang ahli dalam bidang ini. ukan yang dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan islam ketika dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis (Khalifah ke-8 dari kekhalifahan bani Umayyah). Melalui instruksinya kepada Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazn (Gubernur Madinah) dan para ulama madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari para penghafalnya.
Khalifah mengisnstruksikan kepada Abu Bakar Ibn Muhammad bin Hazm (177 H) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Asy’ari (98 H, murid kepercayaan Siti ‘Aisyah) dan al-Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr (107 H). Instruksi yang sama ditunjukkan kepada Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (124 H) yang dinilainya orang yang lebih banyak mengetahui hadits dibandingkan orang yang lainnya. Peranan para ulama dalam mengumpulkan hadits sangat mendapatkan penghargaan dari seluruh umat islam khususnya Az-Zuhri.
Mengingat pentingnya perenannya, ulama di masanya memberikan komentar bahwa jika tidak ada dia, diantara hadits-hadits pasti sudah banyak yang hilang.Namun sayangnnya karya kedua tabi’in ini lenyap tidak sempat diwariskan kepada generasi sekarang.
Metode atau cara memahami hadist (sunnah)
Beberapa Petunjuk dan Ketentuan Umum untuk Memahami As-Sunnah :
1. Memahami As-Sunnah sesuai Petunjuk Al Quran.
Untuk dapat memahami As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran yang buruk, maka haruslah kita memahaminya sesuai petunjuk Al Quran, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti benarnya dan tak diragukan keadilannya.
Al Quran adalah “ruh” dari eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitutsi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan Islam.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rosulullah SAW, yaitu menjelaskan keapda manusia apa yang diturunkan kepada mereka.
2. Menghimpun Hadits-hadits yang Terjalin dalam Tema yang Sama.
Untuk berhasil memahami As-Sunnah secara benar, kita harus menghimpun semua hadits sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khash. Dengan cara demikian, dapat dimengertilah maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadits-hadits yang (Tampaknya) Bertentangan.
Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:
Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demnikian itu lebih utama daripada harus mentarjih antara keduanya. Sebab pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.
4. Memahami Hadits-hadits sesuai Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya, serta Tujuannya.
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadits Nabi SAW adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits, atau kaitannya dengan suati ‘illah(sebab,alasan) tertentu, yang dinyatakan dalam hadits tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Siapapun juga yang mau meneliti dengan seksama, pasti akan melihat bahwa diantara hadits-hadits, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus, demi suatu maslahat yang diharapkan atau mudharat yang hendak dicegah, atau mengatasi suatu problem yang timbul pada waktu itu.
Untuk dapat memahami hadits dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang meliputinya serta dimana dan utnuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai perkiaraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami Al Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al Quran). Maka untuk dapat memahami As Sunnah, kita perlu mengtahui asbab al wurud (sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadits).
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap dari Setiap Hadits.
Diantara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As Sunnah adalah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujaun dan sasaran yang hendak dicapai oleh As-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal itu memang merupakan tujuan yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang benar-benar berusaha unuk memahami As Sunnah serta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana, adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat kebiasaan, dan sebagainya.
Setiap sarana dan prasarana, mungkin saja berubah dari suatu msa ke masa yang lainnya, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya. Bahklan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadits menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita di sampingnya.
6. Membedakan antara Ungkapan yang Bermakna Sebenarnya dan yang Bersifat Majaz dalam Memahami Hadits
Ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor) banyak sekali digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghoh (retirika) dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan daripada ungkapan dalam bentuk yang biasa. Sedangkan Rasul SAW adalah seorang berbahasa Arab yang paling menguasai balaghoh. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari wahyu. Maka tak mengherankan jika dalam hadits-haditsnya, beliau banyak menggunakan majaz. Yang mengungkap maksud bneliau dengan cara sangat mengesankan.
Yang dimaksud dengan majaz di sini adalah yang meliputi majaz lughowiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah, dan berbagai macam ungkapan yang lainnya yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya, baik bersifat tekstual ataupun kontekstual.
7. Membedakan antara Yang Gaib dan Yang Nyata
Di antara kandungan As-Sunnah, adalah hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib, yang sebaiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat yang diciptakan oleh Allah SWT untuk melakukan pelbagai macam tugas tertentu. Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka.
Dan sebagian dari hal-hal yang ghaib adalah berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh. Yaitu kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di dalamnya pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya. Demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya.
Dan sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat, yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad SAW), mizan (neraca amal manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya (baik yang berupa material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya), dan juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya (baik yang inderawi maupun maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya).
8. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadits.
Adalah penting sekali untuk dapat memahami As Sunnah dengan sebaik-baiknya, memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan kalimat As-Sunnah. Sebab, konotasi kata-kata tersebut ada kalanya berubah dari suatu masa ke masa yang lainnya, dan dari suatu lignkungan ke lingkungan yang lainnya. Ini diketahui oleh terutama mereka ynag mempelajari perkembangan bahasa-bahasa serta pengaruh waktu dan tempat atasnya.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam As-Sunnah (atau juga dalam Al Quran) sesuai dengan istilah meerka yang baru (atau hanya digunakan di kalangan mereka saja). Di sini akan timbul kerancuan dan kekeliruan.
Imam Al Ghazali telah mengingatkan tentang telah berubahnya beberapa nama ilmu serta makna-makna tertentu, sejak digunakan pada masa-masa para salaf. Karena itu, ia memperingatkan tentnag bahaya perubahan ini, yang dapat menyesatkan pemahaman orang-orang yang kurang teliti dalam membahas dan mendefinisikan konsep-konsep tertentu. Untuk itu, ia menulis sebuah bab yang amat penting dalam Ihya’ ’Ulum Ad-Din (yakni dalam kitab Al ’Ilm).
3. IJTIHAD
Ijtihad adalh mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mendapatkan hokum agama dari dalil-dalial syarak ( Al- quran dan Hadist ). Ijtihad sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai persoalan hokum yang belum dijelaskan oleh Al-quran dan hadist secara terperinci. Hal itu disebabkan adanya dua macam ayat Al-quran yaitu muhkamat dan mutasyabihat yang mungkin belum dijelaskan dalam hadist. Dalam hal itu lah,ijtihad sangat diperlukan. Rasulullah saw.,berkata kepada Mu’az bin Jabal dalam hadist tentang ijtihad berikut ini
كيف يمكنك أن تقرر إذا كانت القضية تمثل مشكلة بالنسبة لك؟ "جواب معاذ ،" لقد قررت مع كتاب الله. "إذا لم يكن في كتاب الله؟" اسأل الله أكبر. "مع السنة النبوية." ، أجاب معاذ. سأل : "اذا لم ترد في السنة النبوية؟" "أنا الاجتهاد مع آرائي وحاولت بكل قوتي" ، وقال معاذ. ثم قال النبي وهو يربت على صدري "، ولله الحمد لله الذي هدانا رسول رسول لصنع سبيل الله ورسوله
Artinya :
“Bagaimana kamu memutuskan perkara apabila dikemukakan masalah kepadamu?” Jawab Mu’az, “Aku memutuskan dengan kitabullah. “ Jika tidak terdapat dalam kitabullah?” Tanya Rasulullah saw.selanjutnya.” Dengan sunnah Rasulullah saw.,” jawab Mu’az. Rasulullah bertanya,” Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah saw.?” “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan berusaha dengan segenap tenaga,” kata Mu’az. Kemudian,Rasulullah saw.menepuk dadaku seraya bersabda, “ segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah saw.karena telah membuat keridaan Allah dan Rasul-Nya.” (H.R>Ahmad : 2180)
Syarat menjadi mujtahid
Syarat menjadi mujtahid ( ahli ijtihad) adalah:
1. mengetahui,memahami,dan menguasai ayat-ayat Al-quran dengan baik
2. mengetahui dan memahami nas-nas hadis denagn baik
3. mengetahui dan memahami seluk-beluk bahasa arab dengan sempurna dan baik
4. menegtahui dan memahami pendapat ulam-ulama terdahulu dengan baik
5. memiliki kemampuan mengambil hokum berdasarkan kias atau analogy denmgan baik dan benar.
Cara berijtihad
Beberapa cara yang lazim dipakai dalam berijtihad adalah sebagai berikut.
1. Kias,yaitu menyamakan hokum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya didalam Al-qur’an. Contohnya, hokum minum bir sama dengan minum khamar karena akibat dari keduanya adalah sama yaitu memabukkan.
2. Ijma, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah saw.wafat atas hokum tentang suatu kejadian. Kesepakatan baru terjadi jika tidak ada seorangpun yang menyalahi pendapat tersebut. Contohny ialah pengumpulan tulisan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt.,kepada Nabi Muhammad saw.,menjadi mushaf Al-qur’an seperti sekarang ini.
3. Istihsan,yaitu mengecualikan hokum suatu masalah dari masalah-masalah sejenis yang lain serta menetapakan huklum yang lain bagi masalah itu kerena adanya alas an yang kuat untuk itu
4. Al-maslahah al-mursalah,yaitu menetapkan hokum suatu masalah yang tidak ada nasnya dalam Al-qur’an dan hadist untuk mencapai kebaikan
5. ‘Urf,yaitu pengambilan hokum berdasarkan kebiasaan umum atau adapt istiadat yang berupa perkataan atau perbuatan yang tidak bertentangan dengan akidah islam.
Ijtihad sebagai sumber dinamika
Dalam tulisan berjudul ‘Makna Jihad dan Ijtihad’ telah dibahas tentang ijtihad yang perlu dilakukan oleh ummat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan kebaikan dan kebenaran. Mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika masyarakat, maka di bawah ini dijelaskan oleh Ustadz Sakib Machmud tentang awal mula mengapa ijtihad itu diperlukan. Berikut ini adalah penjelasannya. Allah SWT menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk kehidupan bagi orang-orang yang bertakwa . Kitab ini memberi keterangan mengenai segala sesuatu, petunjuk serta rahmah dan kabar gembira untuk orang-orang yang berserah diri
. Kemudian Allah memfungsikan Rasul-Nya Muhammad SAW, selain untuk membacakan Al Qur’an juga menerangkan pengertiannya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari. Yang beliau katakan dan contohkan dengan petunjuk Allah itu disebut As-Sunnah atau Al-Hadits.
Dua petunjuk telah diturunkan oleh Allah, tetapi karena kehidupan beserta permasalahan hidup manusia itu dinamik, tetap diperlukan penjabaran yang lebih rinci sampai kepada tingkat operasionalnya untuk tempat dan waktu tertentu.
Sehubungan dengan hal ini, Sayid Sabiq menerangkan, dalam hal-hal yang tidak berubah karena perbedaan waktu dan tempat, seperti tata upacara ritual kepada Allah (Ibadah Mahdhah), Al Quran dan Al Hadits menyampaikan keterangan komprehensif sehingga tidak memberi ruang untuk perubahan, penambahan dan pengurangan. Tetapi dalam masalah yang akan bekembang secara dinamik, seperti masalah perdagangan dan politik, sumber-sumber utama ajaran Islam hanya mengemukakan norma-norma pokok.
Maka untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai taca cara melaksanakan Kehendak Allah, orang perlu dan harus melakukan ijtihad, yaitu mengerahkan kemampuan akal secara bersungguh-sungguh untuk mengatasi suatu masalah, dengan bertolak dari keterangan dan petunjuk yang terdapat di dalam Al Quran dan Al Hadits.
Berdasarkan keterangan ini maka lingkup ijtihad hanya mengenai masalah yang belum diterangkan secara rinci di dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Sebenarnya ijtihad ini dilakukan dalam segala bidang, tetapi kemudian orang lebih banyak menyoroti ijtihad di bidang fiqh atau hukum Islam.

Siapa yang berhak melakukan ijtihad? Pada dasarnya semua orang berhak, namun tentu saja dia harus jujur dan tidak mempunyai pamrih kecuali memperoleh kebenaran. Dia juga memiliki kompetensi yang memadai, baik tentang Al Quran dan Al Hadits maupun mengenai masalah yang dikajinya. Al Quran menyatakan, sepantasnya masyarakat yang ingin mengetahui masalah dan penyelesaiannya dengan benar, menanyakannya kepada Rasul dan Ulul Amri (tokoh dan cendekiawan) di antara mereka.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menceriterakan, ketika Rasulullah SAW melepas Mu’az bin Jabbal yang hendak berangkat menjadi gubernur di Yaman. Rasulullah bertanya: “Dengan apa engkau menetapkan hukum?”. Mu’az menjawab: “Dengan Al-Quran. Kalau di dalam Kitabullah ini saya tidak mendapati keterangan yang pasti, saya mamakai Sunnah Rasul. Dan bila tidak saya dapati pula keterangan di dalam As Sunnah, saya akan berijtihad dengan menggunakan pikiran saya sendiri”. Rasulullah membenarkan sikap Mu’az tersebut. >
Dalam hadits lain yang juga dikemukakan oleh Bukhari dan Muslim, dikutip sabda Rasul: “Apabila seseorang berijtihad dan ijtihadnya benar, baginya dua pahala. Tetapi bila dia berijtihad dan ijtihadnya keliru, baginya satu pahala”.
Dua keterangan tadi mendorong orang untuk berijtihad, karena ijtihad memang amat diperlukan untuk menangani masalah manusia yang berubah dan berkembang dari waktu ke waktu secara dinamik. Karena ijtihad adalah keniscayaan untuk dilakukan dan tidak dapat ditunda-tunda maka Muhammad SAW pribadi menjadi mujtahid (pelaku ijtihad) yang pertama.
Beliau adalah Nabi dan Rasul yang menerima Al Qur’an dan As Sunnah. Tetapi selain sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad juga mengemban posisi sebagai pemimpin ummat; maka dari waktu ke waktu beliau harus berijtihad untuk menerapkan norma-norma Al Qur’an dan As Sunnah itu di dalam kehidupan masyarakat. Tatkala ijtihad beliau benar, Allah mendiamkannya, atau apabila pembenaran itu perlu diketahui masyarakat, turunlah ayat mengenai hal itu.
Sebaliknya, apabila ijtihad Muhammad SAW keliru, Allah meluruskannya dengan menurunkan ayat tertentu, yang tentu harus disampaikan Rasul kepada ummat, supaya mereka tidak menganggapnya sebagai kebenaran lalu menyontohnya.Kita kemukakan di sini dua contoh. Pada pertempuran Uhud, pasukan muslimin dapat dihancurkan musuh karena kesalahannya sendiri; sebagian dari mereka mengabaikan perintah Rasul untuk tetap berada di posisi strategisnya, apapun yang terjadi.
Pada saat konsolidasi, Muhammad SAW tidak memarahi orang-orang yang bersalah itu dengan keras, tetapi menerangkan kesalahan mereka dan membesarkan hati mereka dengan kata-kata yang menyentuh hati. Terhadap hal tersebut Allah SWT menyampaikan pujian-Nya:
ولكن بنعمة الله عليك يحدث لهم بلطف. إذا كنت يجري قسوة القلب ، فإنها الابتعاد عن حوال
“Maka dengan rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauh dari sekelilingmu …”. [QS Ali ‘Imran (3): 159].
Pada suatu ketika Rasulullah SAW mengadakan mobilisasi umum untuk menyiapkan pasukan menghadapi musuh. Orang-orang munafik Madinah dengan berbagai alasan memohon ijin kepada beliau untuk tidak ikut pergi ke medan perang. Mungkin karena orang-orang itu pandai mengutarakan alasannya, Rasulullah mengijinkan mereka tinggal di kota. Maka Allah SWT menegur beliau dengan menyatakan:

قد غفر الله لك. لماذا اعطاء الاذن لهم ، قبل أن يتبين لك الذين صحيحا وقبل أن تعرف الناس الذين يكذبون

“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa engkau memberi ijin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang (alasan-alasannya) benar, dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta? [QS At-Taubah (9):43].
Seruan, anjuran dan contoh Rasulullah SAW untuk berijtihad itu dilanjutkan oleh para sahabat, terutama Khalifah yang empat: Abu Bakar as-Shidiq, Umar ibnu Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abu Thalib). Mereka merasa amat perlu berijtihad, karena sesudah Rasul wafat, ayat-ayat Al Qur,an dengan sendirinya tidak turun lagi, dan Sunnah Rasulpun terhenti.
Sedangkan persoalan semakin lama justru semakin banyak dan pelik.
Di antara para khalifah tersebut, yang paling banyak berijtihad adalah Umar ibnu Khattab; maka perkembangan hukum pada masa beliau juga paling dinamik. Bagaimanapun, khalifah yang empat sangat berhati-hati di dalam berijtihad. Tatkala timbul suatu persoalan, beliau mengumpulkan para ahli kemudian membahas penyelesaiannya bersama-sama, dengan tinjauan yang cermat dari berbagai sudut pandang. Cara penetapan demikian itu kemudian disebut ijma’.
Pada masa itu semua orang bersikap jujur dan tidak menyimpan tujuan lain kecuali mendapatkan kebenaran. Maka yang mereka hasilkan merupakan ketetapan yang baik bagi semua orang. Akhirnya yang mengeluarkan keputusan adalah Khalifah. Ketika menetapkan keputusan itu mereka selalu berkata dengan tawaddhu (rendah hati): “Ini adalah ijtihadku. Kalau benar, maka kebenaran itu datang dari Allah. Kalau salah itu dariku”.
Tradisi ijtihad berkembang terus, dan mengalami masa keemasannya pada abad kedua sampai dengan abad ke-4 Hijriyah. Yang paling banyak dilakukan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah di bidang fiqh.
Pada masa tersebut mencuatlah nama-nama mujtahid besar, termasuk yang kemudian dikenal luas sebagai imam-imam mazhab.

> Berdasarkan urutan masa hidupnya, yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Sabit, digelari sebagai Imam Hanafi, pelopor utama Mazhab Hanafi. Beliau lahir di Kufah pada tahun 80 H, wafat di Baghdad pada tahun150 H.
> Yang kedua, Abu Abdullah Malik bin Anas, dikenal sebagai Imam Maliki dan tokoh utama mazhab Maliki. Beliau lahir di Madinah pada tahun 94 H dan wafat di kota tersebut pada tahun 179 H.
> Yang ketiga Abu Abdullah Muhammad bin Adris As-Syafi’i, dikenal sebagai Imam Syafi’i dan pemimpin mazhab Syafi’i. Beliau dilahirkan di Palestina tahun150 H dan meninggal di Cairo tahun 204 H.
> Yang keempat adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dikenal sebagai Imam Hanbali dan tokoh mazhab Hanbali. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat di tempat yang sama tahun 241 H.
Perlu dipahami bahwa para mujtahid (pelaku ijtihad) besar yang kita bicarakan tadi tidak bermaksud mendirikan sebuah mazhab.
Ajaran-ajaran beliau yang dilanjutkan para murid menumbuhkan suatu kelompok orang dengan pemahaman yang sama, yang dikenal sebagai mazhab.
Pada masa keemasan ijtihad itu banyak sekali ulama yang menjadi mujtahid. Orang kemudian mengelompokkan mereka berdasarkan kompetensinya ke dalam beberapa golongan.
Ada yang disebut mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqiil, yaitu orang yang mampu berijtihad secara mandiri, tidak bergantung kepada pendapat siapapun; mereka hanya berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Ada yang disebut mujtahid muntasib yaitu orang yang berijitihad dengan bertolak dari pendapat pokok mujtahid terdahulu, kemudian mengembangkannya sendiri untuk diterapkan pada kondisi khusus.
Ada lagi yang disebut mujtahid fil mazhab, yaitu seorang yang mengikuti pendapat mujtahid terdahulu, baik dalam masalah pokok maupun rinciannya, Dia hanya mampu menerapkan pendapat tersebut di dalam kondisi nyata. Ada pula yang disebut mujtahid murajih, yaitu orang yang mampu membandingkan pendapat beberapa mujtahid, kemudian menyimpulkan mana yang paling kuat di antara pendapat-pendapat tersebut.

Aktivitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka ruang bagi dinamika masyarakat yang tinggi. Tetapi di pihak lain, ijtihad menimbulkan beda pendapat yang tajam, dan setelah mazhab-mazhab memantapkan dirinya, timbul persaingan di antara mazhab-mazhab tersebut dalam memperebutkan pengaruh dan hegemoni di masyarakat.
Maka sesudah abad ke-4 Hijriyah muncul wacana untuk menutup pintu ijtihad, dengan anggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab berbagai masalah yang timbul kemudian.
Apa lagi pada masa itu tidak ada lagi mujtahid besar sekaliber keempat imam, yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbong pembawa gerakan ijtihad ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H), yang mendobrak kebekuan dengan seruannya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Seruan ini kemudian didukung penuh oleh ulama-ulama yang hadir sesudah beliau, seperti Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787M), Jamaluddin Al Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan lain-lain.
Pada hakikatnya ijtihad memang tidak dapat dihambat dan dihalangi. Menutup pintu ijtihad berarti menghentikan dinamika dan kreatifitas, yang merupakan ciri kemajuan.


Pemikiran budaya tentang hokum islam

Islam setelah hadir dalam sejarah, aspek hukum sebagai salah satu obyek pengkajian di dalamnya, mempunyai pengalaman sejarah yakni waktu perjalanan sampai kini telah memasuki 5 (lima) periode, Yakni; (1) periode Rasulullah SAW., (2) periode Sahabat Besar atau Al-Khulafa Al-Rasyidin, (3) periode Abbasiyah atau zaman Mujtahid klasik, juga disebut masa kehidupan berpikir atau kemajuan, (4) periode taklid atau zaman pertengahan, juga disebut masa ketertutupan dan kemunduran, dan (5) periode modern atau zaman pembaharuan.
Jika disimak hukum Islam seirama dengan dimensinya dalam sejarah, maka isi pengkajian dalam setiap dimensinya mutlak menampakkan berbagai sistem atau metode. Oleh sebab itu, pada zaman Rasulullah SAW., hukum Islam secara bersahaja dapat diperoleh berdasarkan wahyu Allah SWT dan ijtihad Rasulullah SAW, yaitu hukum Islam dalam perspektif Alquran dan Sunah. Masing-masing diyakini oleh umat Islam adalah syari’at Islam, semua tergambar sebagai dalil naqli atau nash-nash. Hukum Islam sejauh diistimbatkan dari keduanya disebut fikih nushush. Berikut dalam istimbatnya dengan akal atau pemikiran disebut fikih ijtihady
Para sahabat ketika menerima Alquran dan Sunah, mereka tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian zakat. Kebijakan dalam contoh di atas dalam konteksnya digali oleh ahli-ahli hukum Islam modernisme ke dalam kerangka epistimologi baru dalam studi Islam disebut fikih siyasi, di luar Islam serupa dengan sebuah ilmu disebut politik hukum. Dalam pada itu, mungkin para pemikir kontemporer tidak sangat keliru, jika memang terdapat di antara mereka mendukung hak pemerintah untuk men-takhshish kaidah umum nash-nash dan membatasi kemutlakannya.
Dengan demikian, persepsi para sahabat dalam budaya pemikiran, mereka semuanya menganut paham tekstual terhadap sumber ajaran Islam. Mereka selain tunduk terhadap suatu kebijakan khalifah tentang larangan ketat berdiskusi tentang agama kecuali Alquran dan tradisi umum dari Nabi, juga terdapat petunjuk Rasulullah SAW memang menolak rasio atau ijtihad dalam pengembangan dan perluasan ajaran agama. Dalam pada itu, paham zahiriah atau tekstualisme, dari zaman klasik sampai sekarang, merupakan bahagian dalam sejarah dan budaya pemikiran hukum Islam, seirama dan berdampingan dengan paham maknawiyah atau kontekstualisme.
Beberapa mazhab klasik dalam bidang hukum, seperti mazhab Zahiri, Hambali dan Ibnu Taimiyah; serta mazhab-mazhab kontemporer seperti neozahiri dari Wahabi di Arab Saudi dan Muhammadiyah di Indonesia; semuanya adalah mazhab-mazhab berasaskan paham lahiriyah atau tekstual, baik budaya pembaharuan yang merujuk kepada Alquran semata-mata, maupun kepada Sunah yang dilegalisir menurut tingkat kualifikasinya, kemudian berikut ditetapkan sebagai mabda’ atau sumber hukum.
Ketika ketatanegaraan dalam Islam di tangan Dinasti Umayyah, maka perjalanan budaya tasyri’ tampak tidak seimbang dengan perjalanan politik, dibanding dengan zaman al-Khulafa al-Rasyidin. Tasyri’ berkembang sekadar ide belaka, sehingga supremasi hukum di sini bukan sesuatu hendaknya positif atau dituntut, jika bertentangan dengan kemauan politik; zaman orde lama dan orde baru mungkin dapat dijadikan contoh sederhana di Indonesia. Dengan demikian, perjalanan tasyri’ dan politik, serta otoritas ulama dan umara membentuk sekularisasi, tasyri’ membawa ulama berkepala besar, dalam sisi politik sudah membawa umara bertangan besar. Oleh sebab itu, tesis hukum Islam sejauh bersangkutan dengan kepentingan umum, seperti hukum jinayah atau pidana dan hukum ketatanegaraan tidak mutlak berlaku. Jadi hal hal misalnya sanksi pidana dan bentuk negara ditentukan oleh kebijakan politik, meskipun kelak ada pertentangan dengan hukum syara’ dari Alquran dan sunah serta tradisi sahabat.
Dinasti Umayyah pada saatnya, adalah keadaan sudah berhadapan dengan kemajemukan umat terdiri atas tiga golongan yakni, Syi’ah, Khawarij dan Jumhur. Kehadiran mereka merupakan isyarat bahwa kemajemukan umat merupakan dalil yang menyampaikan kepada keadaan menyulitkan atau darurat, suasana bukan lagi dianggap stabil, simpel dan sederhana. Dalam pada itu, supremasi hukum syara boleh saja dibatasi kompetensinya atau diganti menurut pertimbangan politik, yakni seolah tiada waktu hendaknya lalai dari memelihara kepentingan umum, dan keselamatan umat, seperti ketiadaan penguasa atau khalifah di atas permukaan bumi. Di atas ketiga golongan dalam Islam di atas, masing-masing secara tersendiri membentuk alur pemikiran budaya Islam mulai dari aspek politik dan hukum, sampai kepada aspek teologi, filsafat dan tasawuf.
Sejauh di dalam peran ketiga golongan Islam di atas, hukum Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidin berbeda dengan hukum Islam masa Bani Umayyah. Tesis hukum berkembang bukan lagi karena azas musyawarah atau mufakat, tetapi tampaknya adalah sisa yang sesuai persepsi masing-masing golongan. Perbedaan pendapat misalnya, golongan Khawarij dan Syi’ah tidak menerima hadits-hadits kecuali apa yang diriwayatkan oleh pihaknya sendiri. Golongan jumhur di satu sisi tetap mengantisipasi hadits-hadits dari siapapun saja setelah memenuhi syarat-syarat tsiqah Dalam pada itu, khawarij dan syi’ah kelihatan tidak sama demokratnya dengan Jumhur dalam kerangka penjaringan hadits-hadits sebagai salah satu metodologi hukum Islam. Keduanya tampak memiliki sikap subyektif dan nepotisasi.
Dengan demikian, golongan jumhur sebagai paling banyak didukung ketika itu berpendapat, bahwa Khalifah haruslah orang-orang berasal dari suku Quraisy, seolah sebuah suku mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada suku-suku Arab lainnya, sebagaimana petunjuk sebuah hadits shahih menyatakan, bahwa Imam-Imam dari suku Quraisy. Jadi keempat khalifah Rasyidah, begitu pula Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, mereka adalah khalifah-khalifah Islam dan mereka tidak menyimpang dari Sunah. Di atas teori ini dijadikan hukum ketatanegaraan yang dianut oleh ahlusunah wal jama’ah.
Di samping pendapat menurut jumhur di atas, berkembang pula pandangan dari dua pihak lagi yaitu Khawarij dan Syi’ah, pihak pertama berpendapat bahwa setiap orang Islam meskipun bukan ras Arab boleh saja menjadi Imam, asal saja ia mempunyai kemampuan untuk itu; Pihak kedua berpendapat, bahwa jabatan Imam bukanlah hak setiap orang Islam, tetapi imam adalah hak semata-mata Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Oleh sebab itu, perbedaan di atas tiga golongan Islam, tentu saja merupakan fakta yang menyampaikan bahwa tesis hukum Islam sudah lazim berbeda pada kasus yang serupa.











DAFTAR PUSTAKA

MAKALAH SEJARAH BAHASA INDONESIA


BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Kesadaran politis semacam inilah yang memunculkan ide pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa yang dapat menjembatani keinginan pemuda-pemudi dari berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.
b.      Tujuan Masalah
o       Pengguna makalah dapat mengetahui dan memahami sejarah bahasa Indonesia
o       Pembaca makalah dapat mengetahui dan memahami tentang kedudukan bahasa Indonesia
o       Pembaca makalah dapat mengetahui dan memahami tentang fungsi bahasa Indonesia
c. Rumusan Masalah
o     Sejarah bahasa Indonesia
o     Kedudukan bahasa Indonesia
o     Fungsi bahasa Indonesia

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Bahasa Indonesia

Pemuda-pemudi Indonesia pada masa pergerakan berhasil menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia. Dalam kongres tersebut tercetuslah ikrar bersama yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda . Ikrar Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu salah satu butirnya adalah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Adapun bunyi ikrar lengkap pemuda Indonesia yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda itu adalah sebagai berikut.
Teks Sumpah Pemuda
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu,Tanah Air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Secara historis bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau sebab bahasa yang dipilih sebagai bahasa nasional itu adalah bahasa Melayu, yang sudah menjadi lingua franca di pelabuhan-pelabuhan perniagaan yang tersebar di wilayah Nusantara, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia.

Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.
o       Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan) di seluruh wilayah NUsantara.
o       Bahasa Melayu memunyai struktur sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memerkaya dan menyempurnakan fungsinya.
o       Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.
o       Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
o       Ada nya semangat rela berkorban dari masyarakat Jawa demi tujuan yang mulia.
Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Masa Kolonial
Meskipun bukti-bukti autentik tidak ditemukan, bahasa yang digunakan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Sementara itu, bukti-bukti yang tertulis mengenai pemakaian bahasa Melayu dapat ditemukan pada tahun 680 Masehi, yakni digunakannya bahasa Melayu untuk penulisan batu prasasti, di antaranya sebagai berikut.
o       Prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit berangka tahun 683 Masehi.
o       Prasasti yang ditemukan di Talang Tuwo (dekat Palembang) berangka tahun 686 Masehi.
o       Prasasti yang ditemukan di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686 Masehi.
o       Prasasti yang ditemukan di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi) berangka tahun 686 Masehi.
o       Prasasti dengan nama Inskripsi Gandasuli yang ditemukan di daerah Kedu dan berasal dari tahun 832 Masehi.
o       Pada tahun 1356 ditemukan lagi sebuah prasasti yang bahasanya berbentuk prosa diselingi puisi (?).
o       Pada tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, ditemukan batu nisan yang berisi suatu model syair tertua .
Perkembangan Bahasa Indonesia di Masa Kolonial
Pada abad XVI, ketika orang-orang Eropa datang ke Nusantara mereka sudah mendapati bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perantara dalam kegiatan perdagangan. Bukti lain yang dapat dipaparkan adalah naskah/daftar kata yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Di samping itu, pengakuan orang Belanda, Danckaerts, pada tahun 1631 yang mendirikan sekolah di Nusantara terbentur dengan bahasa pengantar.
 Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan: K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumiputera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.
Perkembangan Bahasa Indonesia di Masa Pergerakan
Setelah Sumpah Pemuda, perkembangan Bahasa Indonesia tidak berjalan dengan mulus. Belanda sebagai penjajah melihat pengakuan pada bahasa Indonesia itu sebagai kerikil tajam. Oleh karena itu, dimunculkanlah seorang ahli pendidik Belanda bernama Dr. G.J. Niewenhuis dengan politik bahasa kolonialnya. Isi politik bahasa kolonial Niewenhuis itu lebih kurang sebagai berikut.
Pengaruh politik bahasa yang dicetuskan Niewenhuis itu tentu saja menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Banyak pemuda pelajar berlomba-lomba mempelajari bahasa Belanda, bahkan ada yang meminta pengesahan agar diakui sebagai orang Belanda (seperti yang dilukiskan Abdul Muis dalam roman Salah Asuhan pada tokoh Hanafi). Sebaliknya, pada masa pendudukan Dai Nippon, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Tentara pendudukan Jepang sangat membenci semua yang berbau Belanda; sementara itu orang-orang bumiputera belum bisa berbahasa Jepang. Oleh karena itu, digunakanlah bahasa Indonesia untuk memperlancar tugas-tugas administrasi dan membantu tentara Dai Nippon melawan tentara Belanda dan sekutu-sekutunya.
B. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai bahasa nasional , dan sebagai bahasa resmi/Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional diperoleh sejak awal kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional sekaligus merupakan bahasa persatuan.
  •  Secara Nasional
o       Lambang Kebanggaan Nasional.
o       Lambang Identitas Negara.

o       Alat pemersatu bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya.
o       Alat Penghubung antar budaya antar daerah.

  • Secara Resmi
  1. Bahasa resmi kenegaraan.
  2. Pengantar dalam dunia pendidikan.
  3. Penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan   pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah.
  4. Alat pengembangan kebudayaan,ilmu pengetahuan teknologi.

C . Fungsi bahasa Indonesia
  • Fungsi khusus :
1.  Pergaulan, bahasa untuk berinteraksi
2.  Seni, bahasa untuk mengekspresikan seni.
3.  Pengetahuan, bahaa untuk mengeksploitasi Pengetahuan.
4.  Sejarah, bahasa untuk mempelajai naskah-naskah kuno.
  • Fungsi Umum :
1.  Bahasa adalah alat untuk berekspresi.
2.  Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi.
3.  Bahasa adalah alat kontrol sosial.
4. Bahasa adalah alat integrasi dan adaptasi sosial




























BAB III PENUTUP

a.      Simpulan
Kedudukan bahasa Indonesia yang kedua adalah sebagai bahasa resmi/negara; kedudukan ini mempunyai dasar yuridis konstitusional, yakni Bab XV pasal 36 UUD 1945. salah satu fungsinya, sebagai Alat pemersatu berbagai masyarakat yang mempunyai latar belakang etnis dan sosial-budaya, serta bahasa daerah yang berbeda.
b.      Saran
sebagai penmyusun saya merasa masih ada kekurangan dalampembuatan makalah ini maka dari itu saya memohon kritik dan saran bagi pembaca.









Daftar Pustaka
§         Arifin,e zainal.2004,dasar-dasar penulisan karangan ilmiah. Jakarta: PT Grasindo
§         Tarigan,h.g,mukayat.1986,Telah teks bahasa indonesia. Bandung.: angkasa
§         Sudjana, nana.1991. tuntunan penyusunan bahasa indonesia. Bandung : Sinar Baru
§         The Liang gie.1968 .pengantar dunia bahasa Indonesia: malang. gramedia